THE LOST BLOG Headline Animator

Google Website Translator Gadget

Jumat, 21 Januari 2011

Aqiqah Sunnah ya?

Aqiqah?
apa c itu teh?

Aqiqah adalah sembelihan demi mensyukuri kelahiran jabang bayi, yang dilaksanakan pada hari ke-tujuh. Hukumnya sunat, menurut sebagian besar ulama, dan menurut ulama' Hanafiyah hukumnya mubah (dilaksanakan tidak dapat pahala, ditinggal tidak pula berdosa). Ada juga yang mengatakan wajib, seperti pendapatnya Imam al-Laitsy.

Hikmah disyari'atkannya aqiqah adalah mensyukuri ni'mat Allah yang telah mengaruniai jabang bayi, juga untuk menumbuhkan rasa persaudaraan di antara sanak famili dan handai tolan, dengan mengundang mereka pada pesta aqiqah tersebut.

Aqiqah dilaksanakan dengan menyembelih seekor kambing untuk seorang bayi. Sama saja, baik bayi laki-laki atau perempuan. Karena Rasulullah saw meng-aqiqahi ke dua cucunya, Hasan dan Husein, seekor untuk Hasan dan seekor untuk Husein. Ada juga yang berpendapat, jika bayi laki-laki harus 2 ekor kambing dan satu ekor untuk bayi perempuan, 
yang didasarkan pada hadis Rasul: 'anil ghulaami syataani mukaafiataani wa 'anil-jaariyati syaatun" (dua kambing untuk bayi laki-laki, seekor kambing untuk bayi perempuan). Tinggal melihat kondisi. Kalau mampu membeli dua ekor kambing (jika bayi kita laki-laki), ya akan lebih baik.


Dengan melaksanakan aqiqah, maka seaakan-akan sang bapak telah membebaskan anaknya dari tuntutan. "Kullu mauluudin marhuunun bi 'aqiiqatihi" (setiap bayi tertuntut sampai pelaksanaan aqiqahnya), kata sebuah hadis.

Aqiqah itu kan sunnah!
Memangnya kenapa?

Sunnah itu kan :

Sunnah (kependekan dari kata Sunnaturrasul, berasal dari kata sunan yang artinya garis) dalam Islam mengacu kepada sikap, tindakan, ucapan dan cara Rasulullah menjalani hidupnya atau garis-garis perjuangan / tradisi yang dilaksanakan oleh Rasulullah. Sunnah merupakan sumber hukum kedua dalam Islam, setelah Al-Quran. Narasi atau informasi yang disampaikan oleh para sahabat tentang sikap, tindakan, ucapan dan cara Rasulullah disebut sebagai hadits. Sunnah yang diperintahkan oleh Allah disebut Sunnatullah.

Sudah menjadi suatu hal yang biasa terjadi di masyarakat ketika mereka mendengar kata “sunnah” maka yang terlintas dalam benak mereka adalah “sesuatu yang baik kalau dikerjakan dan tidak mengapa ditinggalkan serta orang yang meninggalkannya tidak boleh dicela dan diingkari.” Bahkan sebagian mereka lebih parah lagi dengan mengatakan kepada orang yang mengerjakan sunnah: “Kenapa dikerjakan, kan sunnah…, tidak apa-apa ditinggalkan!”, suatu ucapan yang harusnya ditujukan kepada sesuatu yang makruh. Tidak hanya orang awam yang mengatakan demikian, bahkan orang yang dianggap berilmu pun terpengaruh dan ikut-ikutan dengan ucapan “filsafat” tersebut, sehingga dia lebih suka shalat di rumah daripada di masjid, masih merokok dengan alasan “merokok itu makruh” dan perbuatan lainnya yang jauh dari tuntunan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Benarlah ucapan seorang penyair: “Jika engkau tidak mengetahui (ilmunya) maka itu adalah musibah, dan jika engkau mengetahui maka musibahnya lebih besar lagi.”

langkah baiknya kita baca keterangan para ‘ulama tentang masalah tersebut seperti dalam kitab Dharuuratul Ihtimaam bis Sunanin Nabawiyyah, bab “Fii Hukmi Tarkis Sunan”:

Berkata Al-Bazdawiy dalam Ushul-nya: “Sunnah itu ada dua macam: Sunnatul Huda (Sunnah Petunjuk) dan bagi orang yang meninggalkannya berhak untuk dicela dan dibenci. Dan Az-Zawaa`id (sunnah tambahan), bagi orang yang meninggalkannya tidak harus dicela. Adapun Nafilah, akan diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak diberi sanksi orang yang meninggalkannya…”

Berkata ‘Alaa`uddiin Al-Bukhariy dalam syarahnya terhadap Ushul Al-Bazdawiy, yang berjudul Kasyful Asraar (2/567-568):

“Perkataannya: “Sunnatul Huda”, adalah sunnah yang dilaksanakan untuk menyempurnakan petunjuk -yakni agama- dan ini yang dikomentari dengan meninggalkannya (merupakan): kebencian dan kejelekan… yaitu seperti adzan, iqamah, shalat berjama’ah dan sunnah-sunnah rawatib (dua raka’at sebelum Shubuh, dua raka’at sebelum Zhuhur dan dua raka’at setelahnya, dua raka’at setelah Maghrib dan dua raka’at setelah ‘Isya`, -pent.).

Sedangkan Az-Zawaa`id (tambahan): yakni macam yang kedua: Az-Zawaa`id ialah yang meninggalkannya tidak ada kaitannya dengan kebencian dan kejelekan, seperti memanjangkan bacaan dalam shalat, memanjangkan ruku’ dan sujud serta perbuatan-perbuatan di luar shalat, seperti berjalan, berpakaian dan makan.

Sesungguhnya seorang hamba tidaklah dituntut untuk menegakkannya dan tidak berdosa meninggalkannya, serta tidaklah ia menjadi jelek (karena meninggalkan perbuatan tersebut-pent.). Namun yang lebih utama adalah melaksanakannya.

Nah,
setelah melihat beberapa penjelasan diatas,
apakah masih ada keraguan dalam hatimu ketika melaksanakan segala yang disunnahkan?
apakah pantas kita disebut umat RASULULLAH SAW, kalau segala perilaku Rasul yang dicontohkan tidak kita ikuti satu pun?
Tapi , kita juga tidak boleh pilah2 hanya karna sunnah itu kita suka yang sunnah ini tidak,
yang kita contoh kan TELADAN MANUSIA SELURUH ALAM, kenapa masih ragu!

Ada lagi yang bilang, yang wajib dululah yang sunnah mah belakangan.
Emang bener, wajib didahulukan tapi sunnah juga mengikuti, bukan di entar2.
Yang penting kita tau mana saja yang disebut sunnah, kalo ilmuny dah tau tapi ga dilaksanain,
wah, kebangetan bener dah namanya.

MARI KITA HIDUPKAN SUNNAH SETELAH MELAKSANAKAN SEGALA HAL YANG WAJIB, sedikit demi sedikit & jangan lupa saling menasihati.
Insyallah berkah.

SEMOGA BERMANFAAT.
copy right by Hendi Alumni SMANELL 01

Bisnis Dahsyat tanpa modal

Tidak ada komentar:

detikcom